Jelang Lahiran

Baiklah. Pertengahan Januari 2018, sesuai prediksi dokter kandungan, istri saya akan melahirkan. Hasil USG, bayinya berjenis kelamin perempuan. Horeee, saya akan jadi ayah tepat di awal tahun. Pun begitu dengan istri saya, ia akan jadi ibu. Ini sesuatu yang tak pernah kami prediksi.

Saya berharap, semoga proses lahirannya berjalan lancar. Saya pengennya lahiran di bidan, meski selama ini kontrol terbanyak adalah ke dokter kandungan. Kenapa pengen lahiran di bidan? Selain bidannya dekat dengan kosan, juga biayanya relatif terjangkau. Pake BPJS juga bisa.

Saya sebenarnya cemas menunggu kelahiran si jabang bayi ini. Mikirnya suka ke mana-mana. Suka negatif duluan. Takut inilah. Takut itulah. Padahal belum kejadian. Ah, pokoknya macam-macam, yang kadang, kalau tidak ingat Tuhan, malah bikin kelimpungan. Uh, seharusnya saya santai menghadapi ini.

Apalagi, melahirkan itu proses alami, yang harus dihadapi dengan santai, tak khawatir/cemas berlebihan. Gampangnya: lahiran ya lahiran. Ikuti saja prosesnya. Bila terjadi hal-hal yang di luar prediksi, misalnya, baik terhadap ibu/bayinya, itu urusan nanti. Yang penting, apa pun yang terjadi saya harus siap! Harus mengusahakan yang terbaik.

Saya, sih mikirnya, ya sudah lah, semuanya serahkan saja sama Tuhan, bila semua segala usaha sudah dilakukan maksimal. Yakin saja sama Dia. Urusan nanti mau gimana, ya itu nanti. Yang jelas, kalau sejak awal kehamilan hingga jelang kelahiran asupan giji istri dan si jabang bayi cukup, saya kira tak ada masalah.

Sekarang, tenang sajalah. Beranilah berserah.

 

 

Urusan

Betapa banyak urusan di dunia ini, yang harus segera diselesaikan. Jangan bicara jauh-jauh soal urusan dunia. Urusan saya saja lumayan numpuk. Belum lagi urusan keluarga. Urusan pekerjaan. Dan urusan-urusan lain, yang jika saya list, bisa saja buat geleng kepala. Tapi, itulah hidup. Urusan selalu ada. Urusan selalu datang. Dan bila suatu urusan itu tak diselesaikan, tentu  Anda, saya, dan kita bakal diliputi gundah, bahkan bakal terus dihantui oleh urusan-urusan yang belum selesai tersebut.

Saya saat ini sedang mengurus surat pindah. Surat pindah dari Bengkulu ke Bandung. Saya meminta kakak saya mengurus surat pindah tersebut. Saya bisa urus surat pindah itu sendiri. Tapi, tahulah, urusan saya bakal bertambah. Harus izin dari kantor lah. Harus nyiapin tiket pesawat pulang-pergi lah. Harus ninggalin istri yang lagi hamil lah. Bla bla bla pokoknya.

Istri saya juga begitu. Dia meminta ibunya di Sukabumi untuk mengurus surat pindah. Saya belum tega istri saya yang sedang hamil mengurus surat pindah tersebut sendirian, walau jarak Bandung-Sukabumi tak terlalu jauh dibanding Bandung-Bengkulu. Apalagi, istri saya juga mengajar. Seperti saya bilang, bisa saja istri saya izin ke sekolah untuk mengurus surat pindah, tapi, itulah, bakal tambah urusan lagi. Dan lagi.

Kami putuskan, untuk urusan surat pindah ini kami meminta orang kedua menyelesaikannya. Walau, ketika surat pindah dari dua kota tersebut sampai di Bandung, kami tentu harus mengantar surat pengantar tersebut ke kelurahan, yang tempatnya tak begitu jauh dari tempat tinggal kami sekarang. Urusan-urusan lain yang berhubungan, tentu akan menyertai sepanjang kami mengurus surat pindah sampai KTP baru kami terbit!

Lalu, setelah KTP Bandung kita peroleh, misalnya, apa lagi urusan yang harus saya selesaikan? O, ada: bikin KK, kartu BPJS, dan dokumen-dokumen lainya. Wow, betapa ketika sebuah urusan selesai, maka pastilah, mau tidak mau, urusan lain segera menyusul. Begitulah hidup. Jalani saja.

 

 

 

 

Antara Dosa dan Malu

Saya jadi merasa berdosa dan malu. Kemarin. Ya, kemarin. Di mana? Di kantor.

Pukul 09.00. Kami dari tim redaksi rapat. Ada sekitar 10 orang di ruang rapat berpendingin udara itu. Saya kedinginan dan yang lain seperti tampak biasa. Malah,”Coba besarin lagi volume ac-nya. Kok gak kerasa, ya ….” kata teman yang duduk di ujung meja sebelah kanan. Ya ampun, dingin gini, kok dibilang gak kerasa …haha. Gila …gila.

Rapat pun dibuka oleh manajer saya. Pokoknya hal-hal yang menyangkut keredaksian, mulai evaluasi produksi sampai  rencana naskah yang akan dicetak, semua dibahas, termasuk termasuk promosinya. Saya mencoba perhatikan apa yang sang manajer sampaikan.

Seperti biasa, kalau rapat (di mana pun yang pernah saya ikuti), gak semua peserta memerhatikan apa yang disampaikan pemimpin rapat. Memerhatikan itu tidak hanya pasang telinga, tapi juga mata dan menunjukkan antusias. Suka ada yang berseloroh,”Hei, perhatikan dong kalo orang ngomong!” “Aku denger, kok!” jawabnya, tapi kedua tangannya asyik dengan gadget. Nah, menurut saya, orang yang begitu, dia tidak memerhatikan!

Sebenarnya, poinnya bukan itu yang ingin saya sampaikan. Jika pun ada yang lain yang saya sampaikan, itu hanyalah ketaksengajaan, yang juga, mungkin harus dipikirkan. Oleh siapa? Ya pembaca lah. Juga oleh penulis sendiri!

Jadi, apa yang ingin saya sampaikan? Nah, ini dia. Di akhir rapat, sang manajer bilang,”O iya, minggu depan Wira mau operasi. Kita doakan mudah-mudahan lancar dan sehat …” “Aaamiiinnn,” ucap teman-teman yang lain. Karena waktu itu saya duduk di sebelah Wira, saya langsung bilang,”Tenang, Kang, jangan stress duluan, ya. Nanti kami jenguk, kok…haha,” sambil saya tepuk-tepuk pundaknya.

Tiba-tiba, teman yang duduk di sebelah sang manajer nyeletuk, “Ah, kenapa pas saya sakit gak dijenguk? Ada pembedaan inimah!” Untungnya, ketika sang teman nyeletuk begitu diakhiri dengan tawa. Tapi, tawanya, saya kira berbeda.

Nah, ini yang saya maksud saya merasa berdosa dan malu ketika saya mendengar celetukannya: Ah, kenapa pas saya sakit gak dijenguk? Ada pembedaan inimah.

Saya tahu, waktu itu teman saya ini pernah sakit. Tahun lalu kalau gak salah. Terkena komplikasi apa gitu. Saya lupa lagi persisnya. Sempat dirawat di rumah sakit. Saya waktu itu gak ikut menjenguknya bersama teman-teman kantor. Saya juga gak tahu kenapa saat itu saya gak menjenguknya. Padahal dia teman satu kantor. Teman yang sering ngobrol dengan saya ketika luang.

Saya gak tahu, apakah celetukannya menyinggung saya atau teman-teman yang waktu itu gak jenguk dia? I don’t know kalau itu. Tapi, celetukannya di ruang ber-AC itu membuat hati saya bergemuruh,”Kenapa dulu kamu gak jenguk dia pas sakit? Kamu ke mana? Jangan sok sibuk sendiri lah. Dia, kan teman kamu sekantor juga. Dia saudaramu juga. Kenapa membeda-bedakan? Giliran teman dekat kamu, kamu peduli. Giliran teman biasa, eh kamu kurang peduli. Solat aja rajin, tapi ibadah sosialmu nol!”

Begitulah nurani saya ngomel-ngomel, yang membuat saya malah berpikir,”O, iya ya. Seharusnya saya gak boleh begitu. Siapa pun yang sakit, apalagi teman sekantor, selagi sempat, ya jenguk, dunk. Coba kalo kamu sakit, terus gak ada yang jenguk, gimana? Hei, kamu gak bisa hidup sendiri, lho!” Hati saya menunduk, sembari keluar ruang rapat dengan perasaan tak menentu, perasaan bersalah.

 

 

LDR

LDR,

Sejak saya menikahi neng 15 April-akhir Juni 2017 kami mengalami LDR-an alias Long Distance Relationship. Saya di Bandung dan neng Sukabumi. Saya seminggu sekali ke Sukabumi, tiap Jumat sore sehabis pulang kerja. Itu pun jika tak hujan. Jika hujan, maka Sabtu pagi saya ke Sukabumi dan kembali lagi ke Bandung Minggu siang.

Begitulah yang saya lakukan selama 3 bulan lalu. Sebab 30 Juni atau 4 hari lalu neng sudah saya boyong ke Bandung, ngekos bersama di sebuah tempat yang tak seluas rumah orangtuanya di Sukabumi. Semoga ia betah. Semoga ia tetap menikmati alur hidup yang tak ia duga ini.  Karena seumur-umur, ini kali pertama ia ngekos!

Kenapa kami, setelah nikah, kok LDR-an? Bukankah setelah nikah seharusnya bersatu? Normalnya, sih begitu. Bahkan, teman saya bilang, “Ini udah nikah kok masih sendiri. Gimana, sih? Bukannya dibawa istrinya. Malah ditinggal. Percuma nikah kalau berpisah! Mening gak usah nikah!” Pedas kata-katanya, tapi, diam-diam saya mengiyakannya.

Saya sebenarnya tak mau LDR-an setelah menikah. Maunya saya, begitu beres nikah, neng langsung ikut saya ke Bandung, sebab begitu ijab kabul, ia sudah jadi tanggungjawab saya bukan lagi kedua orangtuanya, apalagi tetangganya. Seperti sudah saya bilang, normalnya begitu. Tapi, gak boleh ya kita mencoba tidak normal beberapa saat untuk kembali normal? Boleh kalau kata akumah, eh kata saya mah.

Alasan kami LDR-an:

Sebelum menikah, kami sepakat neng bersedia ikut saya ke Bandung. “Neng tentu ikut suami. Tapi, beri waktu neng sampai Juni, ya. Soalnya neng masih harus nyelesaikan tugas ngajar. Tanggung, 3 bulan lagi akhir tahun ajaran. Juga sambil nyari pengganti neng di sekolah. Gak papa, kan nanti seminggu sekali akang ke Sukabumi?”

Apalagi, kata neng, ”Neng juga ngajar privat matematika di dua rumah. Jadi, mau tuntasin dulu privatnya. Kasian mereka kalau neng langsung tinggalin. Terus, neng juga harus cari guru privat pengganti neng yang cocok buat mereka …”

Saya katakan oke ke neng waktu itu. Dan berakhir pula LDR-an kami. Alhamdulillah. Saatnya hidup memulai dari nol bersama sang istri, di sebuah kota bernama Bandung!

 

Lebaran di Rumah Mertua

Inilah lebaran pertama saya di rumah mertua. “Mak, Pak, kayaknya lebaran tahun ini Cep gak pulang ke Bengkulu. Saya lebaran di Sukabumi.  Cep dan neng ke Bengkulu di luar lebaran …” begitu saya bilang ke orangtua, ketika memasuki dua hari ramadan.

Awalnya, lebaran tahun ini saya pengen ajak neng ke kampung halaman saya, sembari mengenalkannya kepada saudara-saudara saya, tetangga, handai tolan, dan tentu tempat-tempat eksotis yang ada di provinsi, yang beberapa hari yang lalu, daerah ini mendadak ramai, karena istri gubernurnya terkena OTT oleh petugas KPK karena menerima suap dari salah satu pengusaha di sana. Wow! Karena merasa bertanggungjawab dan malu, akhirnya, Ridwan Mukti, sang gubernurnya juga mengundurkan diri. “Siap-siap dibully …” salah satu komentar teman saya di facebook.

Itu keinginan saya sebelum ngobrol sama neng. Tapi, setelah saya ngobrol tentang rencana saya itu, neng bilang, ”A, gimana kalo lebaran besok (tahun ini) kita lebaran di Sukabumi. Tahun depan, insyaallah neng mau lebaran di Bengkulu. Soalnya, udah lebaran nanti aa, kan mau bawa neng ke Bandung. Jadi, lebaran tahun ini lebaran terakhir neng bersama keluarga. Masih pengen bersama mereka dulu a …”

Saya mengerti. Andai saya jadi neng, mungkin saya pun akan bilang begitu. Hahaha. “Baiklah, Neng …” kata saya, sembari pikiran saya melayang, membayangkan berlebaran di rumah mertua, berkumpul dengan lima adiknya, silaturahmi dengan saudara-saudara ibu dan ayah mertua, tetangga kanan-kirinya, juga kekhawatiran bila saya tak dapat bergaul dengan keluarga mereka. Maklum, saya ini suka tidak pedean. Pemalu. Memerlukan waktu yang tidak sebentar bersosialisasi dengan orang-orang baru.

Saya pun mulai sadar: Cep, kini kau tak lagi sendiri. Kau sudah menikah. Cara berpikirmu sudah harus beda, antara ketika masih sendiri dan sudah menikah. Kau tak bisa lagi mementingkan egomu. Kini, kau harus mulai berpikir adil tentang statusmu yang baru: MENJADI SUAMI. Intinya: ketika kau menikahi istrimu, artinya kau juga, mau tak mau harus pula “menikahi” keluarga mereka. Noted that!

Yup, jadi, udah tiga hari ini saya sedang menikmati hari kemenangan di rumah mertua. Siapa saja yang baru menikah, selamat menikmati lebaran di rumah mertua, ya. Walau, saya yakin kau masih canggung dengan mereka. Tapi, begitulah proses menjadi bagian dari keluarga baru.

 Cipetir, 27 Juni 2017