Saya jadi merasa berdosa dan malu. Kemarin. Ya, kemarin. Di mana? Di kantor.
Pukul 09.00. Kami dari tim redaksi rapat. Ada sekitar 10 orang di ruang rapat berpendingin udara itu. Saya kedinginan dan yang lain seperti tampak biasa. Malah,”Coba besarin lagi volume ac-nya. Kok gak kerasa, ya ….” kata teman yang duduk di ujung meja sebelah kanan. Ya ampun, dingin gini, kok dibilang gak kerasa …haha. Gila …gila.
Rapat pun dibuka oleh manajer saya. Pokoknya hal-hal yang menyangkut keredaksian, mulai evaluasi produksi sampai rencana naskah yang akan dicetak, semua dibahas, termasuk termasuk promosinya. Saya mencoba perhatikan apa yang sang manajer sampaikan.
Seperti biasa, kalau rapat (di mana pun yang pernah saya ikuti), gak semua peserta memerhatikan apa yang disampaikan pemimpin rapat. Memerhatikan itu tidak hanya pasang telinga, tapi juga mata dan menunjukkan antusias. Suka ada yang berseloroh,”Hei, perhatikan dong kalo orang ngomong!” “Aku denger, kok!” jawabnya, tapi kedua tangannya asyik dengan gadget. Nah, menurut saya, orang yang begitu, dia tidak memerhatikan!
Sebenarnya, poinnya bukan itu yang ingin saya sampaikan. Jika pun ada yang lain yang saya sampaikan, itu hanyalah ketaksengajaan, yang juga, mungkin harus dipikirkan. Oleh siapa? Ya pembaca lah. Juga oleh penulis sendiri!
Jadi, apa yang ingin saya sampaikan? Nah, ini dia. Di akhir rapat, sang manajer bilang,”O iya, minggu depan Wira mau operasi. Kita doakan mudah-mudahan lancar dan sehat …” “Aaamiiinnn,” ucap teman-teman yang lain. Karena waktu itu saya duduk di sebelah Wira, saya langsung bilang,”Tenang, Kang, jangan stress duluan, ya. Nanti kami jenguk, kok…haha,” sambil saya tepuk-tepuk pundaknya.
Tiba-tiba, teman yang duduk di sebelah sang manajer nyeletuk, “Ah, kenapa pas saya sakit gak dijenguk? Ada pembedaan inimah!” Untungnya, ketika sang teman nyeletuk begitu diakhiri dengan tawa. Tapi, tawanya, saya kira berbeda.
Nah, ini yang saya maksud saya merasa berdosa dan malu ketika saya mendengar celetukannya: Ah, kenapa pas saya sakit gak dijenguk? Ada pembedaan inimah.
Saya tahu, waktu itu teman saya ini pernah sakit. Tahun lalu kalau gak salah. Terkena komplikasi apa gitu. Saya lupa lagi persisnya. Sempat dirawat di rumah sakit. Saya waktu itu gak ikut menjenguknya bersama teman-teman kantor. Saya juga gak tahu kenapa saat itu saya gak menjenguknya. Padahal dia teman satu kantor. Teman yang sering ngobrol dengan saya ketika luang.
Saya gak tahu, apakah celetukannya menyinggung saya atau teman-teman yang waktu itu gak jenguk dia? I don’t know kalau itu. Tapi, celetukannya di ruang ber-AC itu membuat hati saya bergemuruh,”Kenapa dulu kamu gak jenguk dia pas sakit? Kamu ke mana? Jangan sok sibuk sendiri lah. Dia, kan teman kamu sekantor juga. Dia saudaramu juga. Kenapa membeda-bedakan? Giliran teman dekat kamu, kamu peduli. Giliran teman biasa, eh kamu kurang peduli. Solat aja rajin, tapi ibadah sosialmu nol!”
Begitulah nurani saya ngomel-ngomel, yang membuat saya malah berpikir,”O, iya ya. Seharusnya saya gak boleh begitu. Siapa pun yang sakit, apalagi teman sekantor, selagi sempat, ya jenguk, dunk. Coba kalo kamu sakit, terus gak ada yang jenguk, gimana? Hei, kamu gak bisa hidup sendiri, lho!” Hati saya menunduk, sembari keluar ruang rapat dengan perasaan tak menentu, perasaan bersalah.